Berlapang Dada atas Perbedaan
@ Renungan Ramadhan 1437
Ada yang berbeda sewaktu mengimami shalat tarawih disebuah masjid. Yakni perubahan tata cara shalat tarawih, dimana doa berjama’ah diantara dua tarawih ditiadakan dan diganti dengan doa sendiri – sendiri. Usut punya usut, ternyata sebelumnya ada ustadz yang menyampaikan bahwa praktek itu sebagai sebuah bid’ah.
Masjid itu memang cukup plural, dimana ustadz yang mengampu cukup “beragam” corak dan latar belakangnya. Kami sendiri sangat jarang membahas masalah fiqih disana, apalagi sampai menyerempet khilafiah. Namun adanya fenomena dilapangan, membuat kami ingin menulis. Bisa jadi antum juga tidak sepakat, namun diantara fenomena khas kajian fiqih memang keharusan memahami perbedaan. Tentu saja perbedaan yang berlandaskan dalil.
Pertama, Bilangan Tarawih
Sejak kecil hingga sekarang, kami terbiasa shalat tarawih 23 raka’at. Meski kadang kami juga melaksanakan shalat tarawih 11 raka’at, baik sebagai imam maupun makmum. Namun jika sudah membahas masalah fiqih, tentu saja kami lebih cenderung ke bilangan 23 raka’at. Namanya juga bahasan fiqih, jadi dalil dan analisanya panjang lebar. Disini kami hanya mengupas sedikit saja.
Sejak kecil hingga sekarang, kami terbiasa shalat tarawih 23 raka’at. Meski kadang kami juga melaksanakan shalat tarawih 11 raka’at, baik sebagai imam maupun makmum. Namun jika sudah membahas masalah fiqih, tentu saja kami lebih cenderung ke bilangan 23 raka’at. Namanya juga bahasan fiqih, jadi dalil dan analisanya panjang lebar. Disini kami hanya mengupas sedikit saja.
Rasulullah saw shalat tarawih bersama shahabat dimasjid hanya 3 kali. Tidak jelas, berapa jumlah raka’atnya. Aisyah ummul mukminin memberikan keterangan 11 raka’at, tentu saja sebatas yang dilihatnya saat dirumahnya. Beliau tidak memberikan keterangan bilangan raka’at tarawih rasulullah saat dilaksanakan di masjid atau dirumah istrinya yang lain.
Muncul keterangan yang sangat jelas, dimana Amirul Mukminin Umar bin Khathab ra menyatukan jama’ah tarawih dimasjid nabawi, menyuruh Ubay bin Ka’ab ra menjadi imam dan jumlah bilangannya 23 raka’at. Mereka melakukan demikian pastilah karena pernah menjalankannya bersama dengan rasulullah saw.
Demikian dijalankan dimasa khalifah Utsman bin ‘Affan ra dan Khalifah Ali bin Abu Thalib ra, tanpa ada shahabat pun yang mengingkarinya. Sederhananya, keputusan Umar menjadi ijma’ dikalangan shahabat. Sedangkan ijma’ para shahabat kedudukannya jauh lebih tinggi ketimbang ijma’ para ulama.
Meski demikian, sebagaimana kaidah umum shalat sunnah dimalam hari, jumlahnya tidak dibatasi. Pernah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Azis menambah jumlah bilangan tarawih jadi 36 raka’at. Karena jama’ah di Makkah setelah dapat 4 raka’at tarawih, lalu menyelingi dengan thawaf. Sedangkan dimasjid Nabawi tidak ada Ka’bah untuk berthawaf. Demi mengejar ketertinggalan pahala tarawih atas jama’ah di Masjidil Haram, maka bilangan raka’at tarawihnya ditambah. Meskipun pada periode selanjutnya dikembalikan lagi ke bilangan 23 raka’at. Sampai sekarang, shalat tarawih di masjidil haram dan masjid nabawi memakai bilangan 23 raka’at.
Mari kita berupaya untuk berlapang dada dengan perbedaan, sepanjang ada dalilnya. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khathab dan Umar bin Abdul Azis tentu masuk kategori bid’ah, tepatnya bid’ah hasanah mengacu pendapat Imam Syafi’i.
Kedua, Amalan Pendukung Tarawih
Jeda diantara dua raka’at shalat tarawih, diisi dengan berbagai amalan. Ada dzikir, doa, taradhi shahabat dll. Bahkan jama’ah tarawih di Masjidil Haram melakukan thawaf. Tentu saja nabi tidak pernah mencontohkan thawaf disela tarawih. Biasanya ada juga kultum tarawih, baik sebelum tarawih, antara tarawih dengan witir maupun sesudah witir. Bagaimana sebaiknya sikap kita dalam memandang persoalan ini?
Jeda diantara dua raka’at shalat tarawih, diisi dengan berbagai amalan. Ada dzikir, doa, taradhi shahabat dll. Bahkan jama’ah tarawih di Masjidil Haram melakukan thawaf. Tentu saja nabi tidak pernah mencontohkan thawaf disela tarawih. Biasanya ada juga kultum tarawih, baik sebelum tarawih, antara tarawih dengan witir maupun sesudah witir. Bagaimana sebaiknya sikap kita dalam memandang persoalan ini?
Point pentingnya adalah, kita tidak mendapatkan keterangan pasti bagaimana tata cara rasulullah saw bertarawih bersama shahabatnya dimasjid nabawi. Hanya saja kita mendapatkan keterangan agar memisahkan antara dua shalat, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim dari Mua’awiyah ra. Karena itu jika diantara dua shalat tarawih diisi dengan ibadah yang bersifat mutlak dan tidak terikat (seperti dzikir, doa, taradhi shahabat, qultum atau bahkan thawaf) maka tidak boleh diingkari.
Apakah harus sendiri – sendiri dengan suara lirih dan tidak boleh dilakukan secara berjama’ah? Itu juga kurang tepat. Prinsip umumnya, doa dan dzikir itu boleh sendiri boleh berjama’ah, boleh dengan suara lirih boleh juga dengan suara keras. Tidak boleh saling menegasikan satu sama lain. Persoalannya ada pada seberapa besar akses kita terhadap dalil dan bagaimana cara kita mensikapinya.
Harus kita pahami bahwa shalat tarawih ini mengikuti rukun shalat biasa. Artinya, dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Segala amalan kebaikan yang dilakukan diluar itu tidak akan mengganggu nilai tarawih. Lain dengan shalat jum’at, dimana khutbah jum’at menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari shalat jum’at.
Khatimah
Betapa indah bulan ramadhan, dimana kita bisa beribadah bersama – sama. Karena itu, jangan kita menjadi dai yang membuat jama’ah jadi bubar dari masjid atau saling bertentangan satu sama lain. Pelajarilah khazanah ilmu seluas – luasnya dan dewasalah dalam bersikap. Wallahu a’lam.
Betapa indah bulan ramadhan, dimana kita bisa beribadah bersama – sama. Karena itu, jangan kita menjadi dai yang membuat jama’ah jadi bubar dari masjid atau saling bertentangan satu sama lain. Pelajarilah khazanah ilmu seluas – luasnya dan dewasalah dalam bersikap. Wallahu a’lam.
by Eko Jun
Komentar
Posting Komentar