Jangan Terlalu Cepat Menilai Orang Lain
Dalam suatu pameran seni pada 1966, Carl Andre membuat barang aneh. Lihatlah, ia membuat sesuatu yang berbeda. Nyeleneh. Sangat berbeda dengan patung modern. Hanya susunan bata.
carl andre afasia |
Tahukah, ada apa dibalik karya tersebut? Carl Andre dalam pameran di Tibor de Nagy Gallery, New York yang disebut Equivalent VIII itu ternyata punya maksud untuk menguji respon intelektual dan toleransi pengunjung. Menggemparkan pikiran atau asumsi monoton dan membuat mereka seolah-olah merasa bersalah.
Carl Andre mengajarkan kita bagaimana memandang dunia atau realitas dengan cara yang berbeda. Bagaimana kita menilai sesuatu dengan sudut pandang berbeda. Jangan cepat menilai. Melihat sesuatu dari luarnya saja.
Misalnya, apa yang saya lakukan di social media, belum tentu sama dengan apa yang terjadi di kehidupan saya sehari-hari. Percayalah, setiap tulisan dan postingan saya ada maksud tertentu. Jangan cepat menilainya ya, tapi coba lihat dari sudut pandang yang berbeda.
Menilai itu memang gampang. Dari gesture tubuh, maupun intonasi suara semua bisa terbaca dengan jelas. Namun, tantangan membaca orang lain tampaknya perlu kehati-hatian yang ekstra, apalagi sebatas berkenalan di facebook.
Saya teringat, sekitar empat tahun lalu. Saat itu saya dan teman memutuskan untuk bertemu seseorang salah seorang rekan yang cukup jauh dari domisili. Dari foto-foto yang di upload facebook, semua akan menduga bahwa ia berperawakan sempurna. Tapi usut punya usut, apa yang kami temui tidak seperti realita. Kami hendak kecewa, apa daya, kami hanya tertawa ria.
Ada juga teman saya, di facebook ia membuat status provokatif. Bahkan mengunggah video-videonya yang aneh. Tapi siapa yang tahu di dunia realita? Ia adalah orang yang asyik diajak ngobrol. Bahkan, saat ini ia masih aktif mengajar mengaji.
Orang-orang seperti ini sering kita jumpai, dan tanpa sadar kita akan merasa bersalah. Karena mendahulukan prespektif negative atau cepat menilai.
Firman Allah Ta’ala, dalam surah Al Hujurat ayat 12 kita telah diingatkan, bahwa tetaplah perfikir positif. “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.”
Ada banyak keuntungan yang bisa kita dapatkan dari berprasangka positif. Pertama, hubungan persahabatan dan persaudaraan akan menjadi lebih baik. Kedua, terhindar dari penyesalan dalam hubungan dengan sesama. Terakhir, selalu senang dan bahagia atas kebahagiaan orang lain.
Maka lihatlah kisah Ibu Nabi Musa ‘alaihissalam ketika ia harus melemparkan anaknya ke sungai. Bukankah kita mendapatkan bahwa tidak ada yang lebih dibenci oleh Ibu Musa daripada jatuhnya anaknya di tangan keluarga Fir’aun? Namun meskipun demikian tampaklah akibatnya yang terpuji dan pengaruhnya yang baik di hari-hari berikutnya.
Lihat pula kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam ketika beliau harus berpisah dengan ayah beliau Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, ketika beliau harus dimasukkan ke dalam sumur dan diambil oleh kafilah dagang. Bukankah kita akan melihat hikmah yang begitu besar dibalik semua itu?
Karenanya, hendaknya berprasangka baik, mengerahkan segenap kemampuan untuk menempuh sebab-sebab yang disyariatkan. Dan jika terjadi sesuatu yang tidak kita sukai, mari kita renungi firman Allah Ta’ala berikut,
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)
Ebid Salam
Samarinda, 18 Juni 2016
Samarinda, 18 Juni 2016
Komentar
Posting Komentar