Jadi Ibu Harus Bijak.. Jadi Ibu Harus Kuat..

Pertama kali dapat kabar dipondok, Altaf sangat ceria dan aktif. Tiba-tiba semuanya berubah kacau. Altaf menangis terus minta pulang. Hati Ibu siapa yang enggak gamang dapat info dari pondok dan ditelepon dengar anaknya menangis....

Hari kunjungan pertama datang, maksud hati untuk menghibur, tapi ternyata kondisinya malah makin hancur. Belum lagi tekanan dari sana sini mulai muncul..
"Bu kalau anaknya begini terus nanti pengaruh ke yang lain, bawa pulang aja dulu nanti kalau sudah tenang baru balikin lagi biar gak ganggu yang lain, nanti yang lain ikutan gitu juga kan repot kitanya."
"Ini kali dipaksa ya Bu masuk pondok? Jangan dipaksa Bu, jadinya malah gini."
"Ini anak dimanja banget kali ya Bu? Kalau dimanja ya susahlah.. malah ganggu yang lain"
Ada juga yang bilang, "udah Bu tinggalkan aja anaknya nanti malah makin aleman." 
Berbagai komentar sesama orang tua pun bikin kita sebagai Ibu makin terpuruk. 
1080.plus
Sepanjang perjalanan pulang, sepanjang malam sampai pagi nyari masukan solusi pemecahannya. Kebanyakan masukan, "Jangan ditengokin lagi, biarin aja nanti juga lama-lama betah."
"Gak usah menelepon dan ditelepon, nanti malah makin sedih anaknya."
"Jangan kelihatan care nanti dia malah makin homesick."
"Tegasin sama anak, kasih ultimatum ancam kalau dia begitu kita malah gak bakalan telepon atau jenguk apalagi bawa pulang."
Berharap mendapatkan ketenangan ternyata malah semakin bimbang.

Kepala berdenyut, tubuh lemas, dalam sujud dan doa tak sepatah kata bisa terucap. Hanya cucuran air mata.... tapi Allah pasti maha tahu apa yang kubutuhkan. 

WA seorang teman sedikit menenangkan, "Er.. sabtu biasanya di sana jadwal hanya sampai habis Dzuhur. Berangkat pagi, biar dia pulang sudah lihat kamu, itu biasanya membantu bangun mood dia..." 
"Tapi ustadz bilang jam 2 baru selesai, aku mau berangkat habis dzuhur..." jawabku.
"Gak usah ngeyel, berangkat pagi... nanti disana kamu lihat sendiri bener gak apa yang ku bilang." 

Ku coba pertimbangkan untuk mengikuti nasehatnya, tapi lagi-lagi muncul penilaian negatif dan ucapan menyakitkan jadi hidangan yang datang dari orang yang tidak paham apa sebenarnya yang terjadi apalagi solusi penyelesaian masalah ini. 

Akhirnya kuputuskan berangkat pagi sesuai nasehat temanku. Sepanjang perjalanan padat, rasa lelah yang menghimpit dan tangki bensin yang tinggal 1 balok membuatku berhenti di pom bensin, lalu kuparkir kendaraan di masjid yang ada disana. Aku turun dan berwudu untuk menenangkan hati dan shalat Dhuha. Lagi-lagi tak sanggup aku meminta kecuali jatuhnya air mata. 

Tiba-tiba ada tangan mengusap punggungku, "Istighfar Neng....", dengan suara lembutnya... seorang ibu sudah berumur masih menggunakan mukena, entah kenapa aku malah memeluknya dan menangis di pelukannya. Tangisanku pecah tanpa kata-kata. Beliau hanya terus menuntunku... "Astagfirullahaladzhim... hasbunallah wa ni'mal wakiil... ayo neng... istighfar," katanya sambil memelukku dan mengusap punggungku hingga aku tenang. 

Setelah aku tenang beliau bertanya, "kenapa Neng?"
Aku pun bercerita detail mulai bagaimana Altaf minta dimasukan ke pesantren, lalu dia memilih sendiri pondoknya, lalu tiba-tiba dia berubah dan berbagai tekanan yang aku hadapi. 

Beliau mendengarkan sambil sesekali mengusap lenganku.... 

Lalu beliau bercerita.... 
"Anak ibu 7, Ibu bukan orang punya, tapi Ibu sama Bapak komitmen mau mendidik anak-anak dengan mengedepankan ahlak. 7 anak ibu masuk pondok, bukan kaya pondok sekarang yang mewah-mewah. Lihat pondoknya cucu sekarang semuanya serba enak. 7 anak 7 karakter 7 masalah awal masuk pondok yang beda. Tapi semua sama intinya, masalah adaptasi dan kangen rumah. Tapi walau inti masalahnya sama, cara menyelesaikannya jauh berbeda satu sama lain. Anak kita bukan kue yang bisa pakai cetakan sama nanti hasilnya sama semua. Anak kita manusia yang punya hati, jangan sampai cetakan orang lain disamain sama cetakan anak kita, karena anak orang lain pastinya dididik dan dibesarkan dengan cara yang lain juga dengan anak kita. Terima aja semua masukan, tapi kita paling tau apa yang memang harus kita lakukan."
"Ibu cuma cerita pengalaman ibu aja ya, gak nyuruh eneng ngikutin dan lakukan yang ibu lakuin, tapi siapa tahu ada yang cocok yang bisa jadi solusi."

"Yang paling tau sifat anak itu ibunya, yang paling tau gimana menangani anak ya ibunya, jadi dengerin kata hati bukan kata orang. Karena anak itu buah hati kita bukan buah hati orang lain. Eneng juga gitu, gak bisa kita nasehatin apalagi nyalahin orang gimana memperlakukan anak mereka, karena kita gak tau gimana mereka dan gimana kondisi keluarga mereka, kondisi dan jaman selalu berubah, kehidupan setiap orang juga beda-beda. Kalau kata orang sekarang yang begitu itu sok tahu, apalagi menilai keikhlasan dan sikap orang lain, karena ikhlas itu bukan ucapan, bukan apa yang kita lihat tapi apa yang ada diantara hatinya sendiri dan Allah."

"Ibu dulu suka kesal kalau ada yang bilang, ibunya kali gak ikhlas ngelepasin anak, ibunya kali gak percaya sama pondok, jadi anak gak kerasan." Walaupun sebenarnya mungkin niatannya baik tapi kalau ke hati Ibu rasanya lebih ke arah setengah menghakimi. Padahal banyak yang Ibunya berat melepas anak, anaknya happy. Ada yang sangat siap melepas anak, anaknya malah gak siap." 

"Kalau menurut Ibu omongan-omongan itu gak pas yaa neng...Ibunya sudah sedih jauh dari anak malah ditambahin penilaian-penilaian yang negatif, malah menantu Ibu pernah curhat juga dibilang nitip anak ke pesantren biar bebas berkarir dari pada susah cari pembantu." 

"Ibu kadang heran, kalau sesama Ibu tapi enggak bisa ber-empaty rasanya jadi Ibu. Dulu ibu sering selisih paham juga sama Bapak, Bapak selalu ngerasa perasaan Ibu sama anak berlebihan, apalagi kalau awal masuk pondok, biasanya Ibu memang konsentrasi ke sana nanganin anak, Bapak suka protes katanya nanti bikin anak jadi makin cengeng. Tapi Ibu bismillah aja neng. Sekarang Bapak baru ngerasain buah manisnya apa yang dia tentang dulu." 

"Jadi apa aja tangisan mereka Ibu cuma dengarkan. Ibu gak tanya kenapa mereka gak betah, kenapa mereka pingin pulang. Ibu cuma dengar....dengar....dengar..."

"Dulu telepon pake telepon rumah, lebih mahal daripada sekarang. Mereka telepon nangis, apapun..Ibu dengarkan. Mereka minta Ibu kesana, Ibu berangkat ke sana. Mereka minta Ibu tungguin, Ibu tungguin, Ibu gak pernah menyalahkan anak Ibu dengan sikap mereka karena menurut Ibu, itu memang hatinya anak-anak."
"Tapi Ibu selalu bilang... Ibu capek gak apa-apa...Ibu susah gak apa-apa yang penting kamu jadi orang baik, Ibu mondokin kamu bukan buat hapal hadits, bukan buat ngelotok segala kitab tapi buat nyari bekal kamu hidup. Kalau kamu sayang sama Ibu, pasti kamu gak akan ngecewain Ibu... Ibu buat mereka melihat sendiri dan sadar inilah perjuangan Ibu. Ibu mau mereka sadar sendiri tanpa dipaksa berpikir, karena semua yang dari hati lebih mudah melekat daripada apa yang dari mulut."

"Banyak orang malah memarahi anaknya, mengatai anaknya cengeng, menasehati berbisik sambil melotot, ada yang mengancam meninggalkan anaknya dan tidak akan jemput jika anaknya menangis, kalau Ibu gak mau. Apalagi bilang, Ibu sudah mahal-mahal bayar kamu malah mau pulang. Ibu gak mau membesarkan anak dengan ancaman, membesarkan anak dengan teriakan, membesarkan anak dengan belalakan mata, memaksa anak bukan mendidik anak."

"Yang merasakan mereka. Didik anak dengan hati dan pelukan bukan memaksa mereka mengerti dan mengikuti apa yang kita inginkan tapi mengajak anak melihat bagaimana kita sebagai seorang Ibu cuma berusaha melakukan apa yang terbaik buat anak-anaknya. Melakukan....bukan mengucapkan. Nah melakukan nya itu kita sesuaikan dengan karakter anak kita... 7 anak 7 katakter berbeda neng...", katanya sambil tersenyum dan mengusap lenganku. 

"Ibu memilih capek dan susah buat ngejaga hati anak-anak Ibu, banyak lulusan pondok pinter ngaji, hapal hadits, ngelotok kitab, tapi kehilangan hati, kurang empathy, gampang berucap tanpa hati, bertindak tanpa hati bahkan memperlakukan anak, istri dan orang tuapun begitu." 

"Banyak orang tua lupa buat ngejaga hati anaknya padahal kalau hati baik, maka nanti baiklah anggota badan yang lain. Jika hati rusak, maka rusak pula yang lainnya. Bukan sekedar masukin anak kepondok, lepaskan semuanya."

"Jangan kita menangani masa-masa sulit mereka tanpa jaga hatinya, karena merusaknya mudah memperbaikinya sulit. Jadi seorang Ibu gak musti bisa menyelesaikan semua masalah karena penyelesaian pun datangnya dari Allah, kita cuma perlu bersikap bagaimana seharusnya seorang Ibu, itu aja."

"Kalau orang tua cuma menunjukan marah, cuma menunjuk, memaksakan cara kita, memaksakam kehendak bicara tanpa mau mendengar, lalu bilang nanti juga anak ngerti maksud kita baik, bagi Ibu pribadi kurang pas, maaf mungkin kedengarannya agak kasar tapi kalau menurut Ibu seperti tak ubahnya seperti mendidik dan melatih seekor anjing, dia akan menurut tapi suatu saat dia malah bisa menggonggong dan menggigit kita. Tapi ya balik lagi ke masing, mungkin buat sebagian orang cara ini lebih cocok."

"Alhamdulillah 7 anak 7 karakter, walaupun banyak keringat, air mata, menuai ocehan dan penilaian orang dimana-mana tapi semua bisa dilalui dengan baik. Selalu ada rasa bahagia saat anak-anak mengenang itu semua dan bilang, Ibu kita memang berbeda.... saat mereka mencontoh kita dalam mendidik anak-anak mereka, itu akan jadi obat penat yang luar biasa."   

"Jadi Ibu, menangis itu biasa..... itu rasanya jadi Ibu.... jangan menyerah Neng. Jangan lelah dengan penilaian negatif siapapun, kadang mereka hadir buat ujian kita, tapi kita harus kuat dan tegar buat anak-anak. Datangi dan peluk anaknya...dengarkan tangisannya..hingga tak bersisa sepatah kata tersimpan di hatinya. In sya Allah nanti pada saatnya semua berlalu juga, tapi dia tau dan ingat kita selalu ada untuk mereka", katanya sambil mengakhiri ceritanya.

tripuspitarini.wordpress.com

Entah kenapa, ada rasa lega di dada mendengar cerita beliau. 

Sambil melipat mukena beliau bilang, "maaf yaa Ibu cuma cerita pengalaman Ibu aja, bukan ngajarin, orang tua sekarang lebih pintar dari pada orang tua dulu, kalau Ibu malu nasehatin orang tua sekarang. Mungkin cerita Ibu ada yang gak cocok dengan hati eneng, tapi mana tahu juga ada yang bisa diambil. Ibu gak bisa nolongin, cuma bisa doain aja...." 

Aku memeluk beliau.... "Ibu baik banget, anak Ibu punya Ibu yang baik dan hebat... makasih udah berbagi cerita ya Bu... In sya Allah manfaat." 

Beliau tersenyum dan melambaikan tangan ke suaminya ... lalu mereka keluar dari masjid. 

Aku tiba di pondok 5 menit sebelum anak-anak usai pelajaran. Satu per satu anak-anak datang dan mereka memeluk orang tua mereka yang sudah datang. Kulihat Altaf berlari dan langsung memelukku.... Alhamdulillah Bubu udah sampai... dia kembali menangis... kubiarkan dia menangis..... 

Kulihat sekeliling, mereka yang orang tuanya belum tiba terlihat sedih dan mulai menyendiri, menangis. Satu-satu Ku ajak mereka berkumpul minum dan makan apa yang kubawa, bercerita, tertawa, hingga mereka kembali ceria. Dan akhirnya kupahami kenapa temanku meminta ku datang lebih awal. 

Setelah teman-temannya kembali happy, ku ajak Altaf ke tempat sunyi. 

Dia kembali menangis...kudengarkan tangisannya sambil mengajaknya ber-Istighfar.... 

Setelah dia tenang aku bicara,

"Adek sedih... Bubu lebih sedih... 

"Adek susah... Bubu lebih susah....  Tapi Bubu gak apa-apa sedih dan susah karena Bubu sayang Adek." Aku ceritakan tekanan dan apa yang aku hadapi. Rasa khawatirku, perjuanganku agar bisa lebih awal tiba di pondok. 

Dia mendengarkanku dan memelukku. "Adek selalu kangen Bubu, tiap habis shalat selalu kebayang muka Bubu. Bubu siapa yang jagain kalau sakit, Bubu siapa yang hibur kalau sedih, Bubu selalu sendirian di rumah." Itu meluncur dari mulutnya.  

"Bubu ada Allah yang jagain, Bubu gak sendiri... ada Allah... sama... Adek juga disini dijagain Allah, Adek juga gak sendirian ada Allah. Sebisa Bubu, sekuat tenaga Bubu, Bubu akan ada buat Adek, kalaupun Bubu suatu saat gak lagi kuat bisa ada buat Adek, masih ada doa Bubu. Adek jangan khawatir. Adek boleh telepon kalau diijinin wali kamar. Adek boleh minta Bubu kesini, selama Bubu bisa Bubu usahakan. Tapi Adek belajar disini yaa... sekolah ini udah Allah pilihkan buat Adek, pasti ini tempat yang terbaik buat Adek belajar." 

Tatapan matanya kosong. Tubuhnya lemas, dia cuma tidur dipangkuanku. 

Besok paginya dia telepon, minta dijenguk lagi. Hari ini wajahnya tak semurung kemarin, kami makan bersama. Dia ngobrol dan bercanda dengan Ayahnya. Tapi sinar wajahnya terlihat layu.. "Bubu.. Adek mual...."  
"Oh.. Adek gak enak badan?' Sempat terbersit pikiran dia mencari alasan pulang.
Tapi tiba-tiba terbayang wajah teduh Ibu yang menasehatiku kemarin.."yuk Bubu obatin," kataku.
"Minum antangin, Bubu kerokin yaa...?" dia mengangguk. 

"Nah... Adek harus bersyukur, jangan lihat susah dan sedihnya terus. Adek sakit ada Bubu bisa kesini ngurusin Adek, gimana kalau Faris sama Fahmi yang dari Ambon?" Tanyaku.
"Iya Altaf.. kamu jangan sedih yaa...kamu seharusnya lebih senang dan semangat dari kami."
"Iya..." timpal temannya yang lain, "kamu enak, tinggal telepon, Ibunya datang, saya telepon malah dimarahin...ayo semangat ya Altaf....lihat wajah Ibumu itu sudah wajah lelah tiap hari bulak balik kesini tapi masih saja berusaha menyenangkan kamu," kata temannya.
Altaf hanya diam.... hitam-hitam kerokannya.. lalu beberapa saat kemudian seluruh isi perutnya terkuras. Lalu dia tertidur sejenak sambil memelukku. 

Ketika bangun wajahnya berubah... terlihat segar dan ceria... "Bubu istirahat aja," katanya sambil memeluk dan menciumku. Sepulang dari shalat aku bersiap pulang... binar matanya menatapku ....Bubu jangan lupa selasa jadwal telepon Adek. Bubu telepon Adek yaa.... iyaa Adek in sya Allah. Kalau Adek seneng dan semangat gini Ibunya juga seneng. Dia memelukku... 

'Ibu pulang yaa...," dia tersenyum.

Alhamdulillah..... lega rasanya....

Waktunya menata hati dan kembali berusaha beraktifitas normal..

#Jadi Ibu harus kuat..
#Jadi Ibu harus bijak..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaos Kaki Bolong

15 Hal yang Menyelamatkan Seorang Muslim dari Fitnah Akhir Zaman

Nasihat Ulama untuk Mengatasi Konflik Rumah Tangga